RUMAH CINTA 3G

Oleh : Alina Sitha

Gino dan Gina adalah sepasang suami istri. Mereka telah memutuskan menyatukan cinta mereka dalam ikatan pernikahan meskipun hanya melalui proses perkenalan yang terbilang singkat, dua bulan. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja yang ternyata menumbuhkan benih-benih cinta yang siap mereka tuai dan tanam dalam rumah tangga mereka.

Genap setahun sudah usia pernikahan Gino dan Gina. Mereka juga sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Anggita Salsabila. Kehadiran Gita, begitu nama panggilan bayi mungil itu, membuat suasana berbeda di rumah Ibu Husna, ibu dari Gina. Belum ada yang bisa dikatakan si kecil Gita, ia baru bisa menangis.

“Mas, apa kita tidak sebaiknya membeli rumah saja ? Saya tidak enak ngerepotin ibu terus”, tanya Gina pada suatu malam.

“Mas juga maunya begitu, Dik. Tapi, uang kita belum cukup. Kalau sudah ada uangnya, Insya Allah secepatnya akan Mas carikan”, jawab Gino. Gina hanya mengangguk pelan.

Ikhtiar dan tawakkal terus dijalani kedua sejoli itu. Gino yang bekerja sebagai buruh pabrik lebih giat menyelesaikan tugasnya agar bisa mendapat tambahan bonus dari pabriknya. Sementara itu, tanpa diketahui oleh Gino, Gina tetap masuk ke kantornya di sebuah perusahaan swasta meskipun sudah mendapat izin cuti agar bisa segera menggenapkan jumlah tabungan mereka.

Enam bulan berlalu. Penantian pun terjawab sudah. Gino yang sedari pagi menyusuri jalan jauh dari pusat kota, akhirnya kembali membawa berita bahagia.

“Dik, Mas punya berita gembira nih”, kata Gino sumringah saat masuk ke kamarnya. Gina langsung mendekat tanpa berkata sepatah kata pun, ia hanya mengernyitkan keningnya saat memperhatikan wajah suaminya.

“Alhamdulillah, Dik, Mas sudah dapat rumah untuk kita. Tadi pagi Mas sudah kesana dan membayar uang mukanya. Tapi……..”. Suara Gino tiba-tiba melemah.

“Tapi apa, Mas ?”, tanya Gina bingung.

“Tapi, rumahnya tidak sebagus rumah ibumu ini, Dik. Hanya sebuah rumah KPR biasa dan baru enam bulan ke depan listrik akan dipasang”, lanjut Gino. Keduanya terdiam.

“Mas suka dengan rumah itu ?”, tanya Gina beberapa menit kemudian. Gino mengangguk.

“Kalau Mas suka, Insya Allah saya juga suka. Apapun bentuknya, bagaimanapun resikonya, saya akan siap menghadapinya karena ini sudah menjadi keputusan kita bersama. Lagipula, tidak enak kalau tinggal di sini terus”, kata Gina bersemangat.

“Subhanallah. Alhamdulillah kalau begitu, semoga cinta kita bisa mengokohkan keputusan kita ini. Sekarang kita bereskan barang-barang agar besok pamit sama orangtuamu”, kata Gino mengakhiri pembicaraan. Keduanya pun segera merapikan barang-barang mereka.

Besoknya, seusai berpamitan, Gina dan Gino segera meluncur keluar ibu kota. Gino mengarahkan sepeda motornya ke pinggiran ibu kota. Saat gapura sebuah perumahan terlihat, ia berbelok masuk ke dalamnya. Hingga akhirnya, ia berhenti tepat di depan sebuah rumah tipe 21, bercat putih, tanpa pagar dan terletak tepat di sebelah lahan sawah warga yang belum beralih fungsi menjadi hunian tinggal.

Berbulan-bulan Gino dan Gina menjalani hidup tanpa listrik, seperti kembali ke zaman batu.. Damar dan kayu bakar menjadi teman setia di waktu malam tiba. Tidur beralaskan kasur busa tipis yang hanya dikelilingi kelambu. Bunyi jangkrik dan kodok menjadi pengiring tidur setiap hari. Meskipun demikian, tidak ada tanda-tanda menyesal terucap dari perkataan maupun tergambar dari perilaku keseharian suami istri itu. Gerak-gerik mereka seolah megatakan,”Semua baik-baik saja”.

Tanpa terasa, Gita sudah memasuki usia sekolah. Gino pun berusaha untuk memperbaiki rumahnya. Dimulai dari memperbaiki atap yang bocor, mengganti kayu dengan bata, mengecat tembok, menghiasi halaman dengan berbagai tanaman dan masih banyak lagi. Ia mencoba untuk membuat rumah sederhana miliknya senyaman mungkin bagi keluarga mungilnya.

“Om Gino, kami boleh main tidak ?”, tanya beberapa orang anak kecil saat sore tiba.

Gino yang memang suka dengan anak kecil mempersilakan mereka masuk. Mulai dari bermain tebak-tebakan, bercerita, sampai tausyiah ia lakukan hampir setiap sore jika anak-anak itu datang ke rumah. Anak-anak itu terlihat menikmati kegiatan itu. Begitu juga dengan Gita, ia jadi memiliki teman bermain, ia senang sekali.

* * *
Gita terus bertambah besar. Sekarang, dia sudah duduk di kelas 6 SD. Pada saat itulah dia mendapatkan tugas dari Bu Ina, gurunya, untuk menggambar denah rumah yang bertema rumah impian yang nantinya akan dipresentasikan di depan kelas. Sepulang sekolah, ia mencari ide untuk mengerjakan tugas dari gurunya. Gambaran rumah besar, bertingkat, memiliki kolam renang terlintas dalam pikirannya. Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang rumah yang membuatnya memilih bertanya langsung kepada orangtuanya.

“Yah, kapan ya kita punya rumah besar seperti punya teman-temanku ?”, tanya Gita. “Yah, rumahnya teman-temanku kan pada besar-besar, kok mereka suka bermain di rumah kita yang kecil ini ?”, lanjutnya.

Gino memperhatikan wajah putri kecilnya itu. Dipandanginya lekat, ia mendapati wajah tulus penuh keingintahuan akan sebuah jawaban atas pertanyaannya.

“Nak, rumah besar tidak bisa menjamin kebahagiaan hidup seseorang. Rasa cinta dan kasih sayang yang tumbuh dalam keluarga akan memberikan kebahagiaan bagi setiap anggota keluarganya. Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Berusaha tentu diharuskan karena Allah SWT tidak suka dengan orang yang malas. Tapi, tentunya jangan lupa untuk bersyukur, seperti yang tertulis dalam Surat Ibrahim ayat 7, karena jika kita bersyukur Allah SWT akan menambah nikmat-Nya kepada kita dan jika kita mengingkari nikmat-Nya maka azab Allah SWT sangat pedih”, jawab Gino.

“Berarti kalau kita rajin bersyukur, kita bisa kaya ya, Yah ?”, tanya Gita lagi.

“Kalau sudah kaya tetap harus bersyukur karena harta itu hanya titipan yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Terkadang orang yang kaya itu lupa, ia lebih cinta pada hartanya, padahal cinta yang seharusnya menempati urutan pertama adalah cinta kepada Allah SWT”, jawab Gino.

Gita berlari ke kamarnya. Sepertinya, ia telah mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Ia pun memutuskan untuk segera menggambar denah rumah impian yang ditugaskan gurunya. Rumah mewah kembali terlintas di pikirannya. Tapi, entah kenapa ia enggan menggambarkannya sebagai suatu rumah impian. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggambar apa yang dilihatnya dan apa yang dirasakannya.
                                                            
Dua hari kemudian, tugas menggambar denah rumah impian dikumpulkan. Sebuah gambar sederhana di kertas millimeter diserahkan Gita kepada Bu Ina, gurunya. Atas permintaan Bu Ina, ia menjadi murid pertama yang mempresentasikan tentang rumah impiannya.

“Rumah impian saya sederhana. Terdiri dari dua kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, halaman yang cukup luas untuk menanam aneka tumbuhan dan sebuah ruangan khusus untuk tempat hewan peliharaan yang dalam hal ini adalah burung perkutut karena saya senang mendengar suara merdunya setiap hari”, jelas Gita panjang lebar di depan kelas.

“Apa judul rumah impiamnu itu ?”, tanya Bu Ina, gurunya.

“Rumah Cinta 3G yang artinya rumah sederhana tapi kualitas bermakna yang di dalamnya dihuni keluarga penuh cinta”, jawab Gita padat dan jelas, Tepuk tangan mewarnai penampilannya.

“Rumah yang bagus, Gita. Cukup sederhana, tapi ibu yakin sumber inspirasinya luar biasa”, kata Bu Ina. Gita tersenyum mendengar perkataan gurunya yang menurutnya benar adanya.

Sepulang sekolah, Gita ingin segera cepat sampai di rumah. Ia ingin menceritakan apa yang ia alami di sekolah dan sekaligus menunjukkan hasil gambarnya kepada kedua orangtuanya.

“Rumah cinta 3G ?”, tanya Gino, ayah Gita, saat mendengar cerita anaknya. Gita mengangguk.

“Itu juga bisa diartikan Gino, Gina, dan Gita. Bukan begitu ?”. Giliran Gina, ibunya Gita, yang berbicara. Ketiganya larut dalam tawa.

“Kamu terinspirasi darimana, Nak ?”, tanya Gino.

“Dari rumah kita dong, Yah. Aku hanya menggambarkan apa yang aku lihat dan aku rasakan. Aku merasakan ada cinta dalam rumah ini. Aku rasa tidak mungkin anak-anak kecil betah berlama-lama disini setiap sore karena faktanya saat ini rumah mereka lebih bagus dari rumah kita. Aku rasa juga tidak mungkin orang-orang yang mengatakan rumah kita ini seram malah memilih minum kopi bersama ayah saat malam tiba. Tapi, cinta membuat itu semua mungkin. Bukankah ibu dan ayah dipertemukan karena cinta ? Bukankah cinta juga yang mengawali perjumpaan ayah dan ibu dengan rumah ini ? Dan aku rasa cinta juga yang membuat aku bisa menerima keadaan kita apa adanya dan membuatku lebih semangat”, jawab Gita panjang lebar dengan penuh semangat.

Gino dan Gina saling berpandangan. Kedua pasang mata itu tanpa terasa sudah menitikkan airmata mendengar perkataan anak sematawayangnya, Gita. Mereka tidak menyangka kalau anak mereka yang baru berusia 12 tahun bisa berpikiran seperti itu.

“Nak, sesungguhnya cinta itu selalu memberi makna indah bagi setiap orang yang tidak memandang sesuatu dari fisiknya saja”, kata Gino. Gita mengangguk setuju.

*TAMAT*

0 Responses