Sebait Cinta

Oleh : Alina Sitha

Namaku Maman. Aku adalah salah satu orang yang banyak menghabiskan waktu di jalanan. Sehabis pulang sekolah, aku selalu mendatangi alun-alun kota. Berbekal gitar tua pemberian ayah, aku bernyanyi bersama teman senasib. Sudah hampir setahun aku menjalani hidup seperti ini, tapi baru beberapa hari ini aku merasa lebih bersemangat. Ternyata, Didin, temanku sesama pengamen jalanan, menyadari perubahan sikapku.
“Man, kamu kelihatannya semangat sekali beberapa hari ini. Kamu kenapa ?”
“Ah, biasa saja, Din”
“Bohong kamu. Aku perhatikan kamu selalu datang lebih cepat dan selalu memperhatikan ke arah sekolah itu. Ayo, ngaku kamu, Man. Aku yakin ada yang kamu sembunyikan dariku”
Aku tidak menjawab. Suasana berubah ramai. Satu per satu penghuni sekolah bercat hijau keluar. Aku langsung berdiri dan mengamati setiap orang yang keluar dari gerbang.
Itu dia, kataku dalam hati.
Gadis cantik berambut panjang dengan tas selempang ungu berada diantara empat gadis yang hampir serupa. Ia berdiri di seberang jalan menanti angkutan umum. Mataku lekat menatap gadis itu.
“Ketahuan !”, teriak Didin di telingaku.
“Apa yang ketahuan, Din ?”, tanyaku sambil mengalihkan pandangan.
“Kamu naksir gadis itu, Man. Sudahlah, jangan bohong. Aku melihat matamu tidak berkedip menatapnya. Akui saja, Man. Wajar saja, gadis itu memang cantik kok”
Aku terdiam dan tersenyum menanggapi perkataan Didin. Aku tersipu malu. Kulirik lagi gadis itu. Entah mengapa aku merasa perih. Aku merasa hanyalah pengamen jalanan yang tidak mungkin mendekati gadis itu.
# # #
“Ayo dong, Man. Mana aura lelakimu ? Kalau kamu tidak mau, aku juga mau loh, Man”, kata Didin.
Aku belum berkutik. Sementara Didin semakin memaksaku untuk bernyanyi di depan gadis yang belum kutahu namanya itu setelah memergokiku sedang menulis bait lagu tentang cinta.
Sore telah tiba. Aku mengumpulkan segenap keberanian untuk menjalankan usul Didin. Saat gerbang sekolah terbuka, aku menunggu gadis itu di tempatnya biasa menunggu angkutan sambil menyanyikan penggalan lagu.
Ups, target datang, bisikku dalam hati.
“Ku tunggu dirimu, ku nanti dirimu, meski hanya bayang semu, izinkanku mengenalmu duhai gadis bernuansa ungu”. Aku pun menyanyikan sebait lagu ciptaanku.
“Lagunya enak, Mas. Tapi, kok diulang-ulang ya ?”, tanya gadis pujaanku.
“Ciptaan sendiri, Neng. Baru nemu sebait lagunya”, jawabku tersipu.
“Waw, kreatif tuh. Bukan nggak mungkin bisa jadi terkenal loh, Mas. Kalo sudah sukses bagi-bagi CD gratis ke kami ya”, kata gadis pujaanku sambil mengeluarkan uang lembaran.
“Terima kasih, Neng…..”
“Dian. Panggil saja namaku Dian”
“Sekali lagi terima kasih, Neng Dian. Mohon didoakan agar sukses. Neng juga saya doain sukses dah”
“Amiin”
Mukaku memerah. Aku tidak menyangka bisa mengetahui nama gadis itu. Keramahannya membuatku semakin terpikat saja. Aku segera berlalu dari hadapannya dan berharap Dian tidak melihat perubahan warna mukaku. Ah, Dian, sebait cinta ini untukmu, seandainya kau tahu.

*tamat*

0 Responses