Hutang Ibu (FF)

Oleh : Alina Sitha

Dina. Itulah nama gadis yang menjadi kembang desa di kampungnya. Ia seorang periang dan sering membuat orang tertawa karena leluconnya. Tapi, semuanya telah berubah sejak tiga bulan yang lalu. Ia menjadi murung dan sering menangis di dalam kamarnya. Meskipun kini ia hidup berkecukupan dan tinggal di rumah yang mewah, ia sama sekali tidak merasa bahagia. Ia tertekan.

“Kalau bukan karena ibuku yang meminta, aku tidak akan pernah berada disini,” kata Dina geram.
“Jadi, kamu tidak mencintaiku ?” tanya seorang lelaki.
“Maaf, aku belum bisa mencintaimu,” jawab Dina sambil menutup mukanya dengan bantal. Ia menangis. Sementa lelaki itu keluar kamar dengan membanting pintu.

Lelaki itu adalah Adi. Ia sudah resmi menjadi suami Dina sejak tiga bulan lalu. Sebuah pernikahan yang terjadi atas dasar balas budi dan sama sekali tidak dikehendaki oleh Dina.  Semua karena ibunya. Ibunya Dina memiliki hutang kepada Pak Imran, bapaknya Adi. Karena kesulitan ekonomi, bukannya berhasil melunasi cicilan hutang, ibunya malah menambah jumlah hutang pada Pak Imran yang bekerja sampingan sebagai rentenir. Awalnya, Dina tidak mengetahunya. Sampai pada akhirnya, ia mendapati ibunya dibentak oleh Pak Imran sekitar empat bulan lalu.

“Bu, sebenarnya ada apa ? Mengapa Pak Imran sekasar itu pada ibu ?” tanya Dina.
“Ibu minta maaf, Nak” jawab ibunya. Dina mengernyitkan kening tidak mengerti. Sementara ibunya masih sesenggukan menahan tangis.
“Tenangkan diri Ibu dulu, nanti kalau sudah tenang tolong Ibu jelaskan sama Dina agar tidak ada salah pengertian,” kata Dina sambil menenangkan ibunya.

Beberapa menit kemudian, ibunya pun menceritakan hal yang tidak pernah dilupakan oleh Dina sampai kapanpun. Ibunya mengaatakan bahwa kalau tidak secepatnya hutang dilunasi, dirinya akan dijodohkan dengan Adi. Saat itu, mendengar nama Adi, wajah Dina berubah geram. Pasalnya, ia pernah menolak keberadaan Adi dalam hidupnya yang pernah memintanya menjadi pacarnya.

“Kenapa harus dijodohkan dengan Adi, Bu ?” tanya Dina sedikit berteriak. Ia emosi.
“Ini salah ibu, Nak. Ibu akan usahakan agar hutang kita dapat segera terbayar sehingga kamu tidak usah menikah dengannya”, kata ibunya lemah.
“Tapi, hutang kita terlalu banyak, Bu. Mana mungkin dalam sebulan kita bisa mengumpulkan uang sepuluh juta ? Darimana,  Bu ?” kata Dina sesenggukan. Ia menangis meratapi nasibnya.

Akhirnya, tenggat waktu yang diberikan Pak Imran habis. Pak Imran sekeluarga mendatangi rumah Dina. Acara lamaran spontan pun diadakan. Seminggu kemudian, acara pernikahan digelar. Dina hanya bisa menunduk pasrah di kursi pengantin. Begitu pula ibunya. Setelah itu, Dina tinggal bersama Adi di rumah baru Adi yang memang sengaja disiapkan untuk keluarga barunya, hingga saat ini.

“Lalu, mengapa kamu menerima lamaranku waktu itu ?” tanya Adi dari balik pintu kamar setengah berteriak.

“Untuk melunasi hutang ibuku pada ayahmu,” jawab Dina tidak kalah keras.

Adi membuka pintu kamar. Dina masih menangis dalam selimutnya.

“Pantas saja kau tidak pernah mencintaiku,” kata Adi lirih.  Dina semakin keras menangis. Sementara Adi pergi meninggalkannya, entah pergi kemana.

*end*

0 Responses